Diriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair, dia berkata, “Aku dan Ibnu Umar pernah bersandar di pintu kamar ‘Aisyah, dan sungguh kami mendengar suara siwaknya.” Dia (Urwah) berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Umar, ‘Wahai, Abu Abdurrahman. Apakah Nabi pernah umroh pada bulan Rajab?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Maka, aku bertanya kepada ‘Aisyah, ‘Wahai, Bunda. Apakah engkau tidak mendengar yang telah dikatakan oleh Abu Abdurrahman?’ Aisyah menjawab, ‘Apa yang dikatakannya?’ Aku berkata, ‘Dia mengatakan bahwa Nabi umroh empat kali. Salah satunya pada bulan Rajab.’ Maka, Aisyah berkata, ‘Semoga Allah mengampuni Abu Abdurrahman. Demi agamaku, tidaklah Beliau umroh murah pada bulan Rajab, dan tidaklah Beliau umroh pada salah satu umrohnya, kecuali dia bersamanya.’ [Beliau tidak umroh pada bulan Rajab saja].” Dia (Urwah) berkata, ”Ibnu Umar mendengar, tetapi dia tidak berkata ‘ya’ ataupun ‘tidak’, bahkan diam.” [Dikeluarkan Al-Bukhari (Ash-Shahih) 3/599-600 no. 1775 & 1776, Muslim (Ash-Shahih) 2/916 no. 1255 dan selain keduanya].
Keistimewaan umroh plus Mesir semakin tampak dengan adanya institusi Al Azhar yang menjadi pusat pembelajaran Islam di dunia. Dari altar keilmuan ini pernah –dan terus- muncul nama-nama besar seperti Imam Ibnu Hajar Al Atsqalani, Ibnu Khaldun, Imam Jalaluddin Al Suyuthi, Syekh Muhammad Abduh, Mustafa Al Maraghi, Taqiyyudin An-Nabhani, Mahmud Syaltut, Thaha Husain, Muhammad Al Ghazali, Said Ramadhan Al Buthi, Yusuf Al Qaradhawi, Wahbah Zuhaili, Thaha Jabir Al Alwani, hingga dua Guru Besar Tafsir di Indonesia, Muhammad Quraish Shihab dan Muhammad Rum Rowi.
Keistimewaan-keistimewaan inilah yang selalu menjadi magnet ribuan orang untuk berkunjung ke Mesir dengan berbagai tujuan. Yang belum pernah berkunjung sangat ingin sekali berkunjung; dan yang sudah berkunjung pun akan sangat rindu untuk kembali berkunjung ke tempat ini. “Hidup di Mesir kadang-kadang memang menyebalkan, tapi jika sudah berpisah, rasa rindu selalu saja datang.”
Tapi sayang, tak semua orang berkesempatan menginjakkan kaki di Mesir. Karena berbagai alasan, berapa banyak orang yang tidak berkesempatan mengingjakkan kaki di bumi para Nabi ini, meskipun hati mereka sangat ini sekali. Saya sangat bersyukur karena diberi Allah kesempatan untuk menghirup udara negeri para wali ini selama empat tahun lamanya. Dan sebagai bentuk kesyukuran itulah saya tulis buku ini.
Buku ini saya mulai dengan cerita lika-liku perjalanan saya bisa menginjakkan kaki di Kairo. Cerita ini saya anggap penting karena menjadi salah satu bagian yang tidak akan pernah saya lupakan dalam sejarah hidup saya. Belum lagi, suka duka yang ada di dalamnya memuat sebuah pelajaran penting bahwa takdir Allah selalu mengandung hikmah yang terbaik untuk kita, walaupun kadang terasa pahit pada awalnya. Singkatnya, sejak lama saya bermimpi untuk bisa belajar di Al Azhar, namun sempat pupus karena dikhianati oleh oknum birokrat yang menyebalkan. Saya pun mengalihkan target belajar saya ke Libya sebagai pengganti Al Azhar. Ke Libya pun gagal. Lalu, pada ujungnya Allah justru membawa saya ke Mesir.